Catatan Vivi

Sabtu, 26 September 2009

Hubungan DI/NII - JI - TERORISME

Hubungan DI/NII - JI - TERORISME

Di Indonesia, organisasi seperti Darul Islam dan Negara Islam Indonesia (DI/NII) telah mewariskan keturunan baik ideologis ataupun biologis terhadap pelaku-pelaku teror saat ini. Secara resmi, organisasi DI/NII sudah lama tamat. Namun para pelaku teror di Indonesia dari tahun 2000 tidak bisa dilepaskan dari lingkaran organisasi ini, misalnya Fathurrahman Ghozi dan saudaranya Jabir alias Gempur adalah putra dari M. Zainuri, tokoh Komando Jihad asal Jawa Timur yang ditangkap pada zaman Ali Moertopo. Abu Durjana alias Aenul Bahri adalah murid tokoh DI, Ustadz Dadang Hafidz. Pun Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir yang berasal dari lingkaran DI/NII. Lingkaran yang dimaksud adalah organisasi: keluarga besar DI/NII, dan ideologi: mendirikan sebuah negara Islam atau menegakkan syariat Islam di Indonesia.


Ketokohan Noordin sebagai gembong teror sebenarnya tidak terlepas dari geliat gerakan Negara Islam Indonesia (NII), yang juga populer dengan sebutan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Gerakan ini diproklamirkan oleh Sang Imam: Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (SMK).

Seiring dengan penangkapan SMK pada tahun 1962 melalui sebuah operasi “Pagar Betis” yang cukup legendaris di kalangan aktivis NII, gerakan NII mulai terpecah menjadi beberapa faksi–meski ada yang bilang sebenarnya faksi itu hanya merepresentasikan basis wilayah gerakan saja.

Nah, di era tahun 1970-an dan 1980-an, muncul beberapa nama tokoh NII lanjutan, seperti Adah Djaelani (Mamak), Abu Darda, Rahmat Tahmid Basuki (keduanya putra SMK), dan Ajengan Masduki yang berbasis di Priangan. Sementara di Jawa Tengah, muncul nama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Menurut kalangan dalam NII, Abdullah Sungkar ketika itu adalah Amir NII Wilayah III Jateng, sedangkan Abu Bakar Baasyir adalah figur kepercayaan Abdullah Sungkar. Menurut kalangan dalam, baik Sungkar maupun Baasyir berbaiat kepada H. Ismail Pranoto (Hispran) pada tahun 1976–meskipun kemudian hal itu dibantah dalam pleidoi mereka.

Sungkar dan Baasyir pun kemudian bahu membahu dengan para tokoh DI lain, seperti Danu Muhammad Hassan, Aceng Kurnia, Adah Jaelani, dan Gaos Taufik. Sebagai catatan, Danu Muhammad Hassan adalah ayah dari Ketua Majelis Syuro PKS, Hilmi Aminuddin. Ketika para tokoh DI ini dituduh melakukan beberapa aksi teror, seperti pemboman Gereja Methodis di Medan, pemerintahan Soeharto mulai mengambil tindakan represif. Lebih dari 700 anggota dan tokoh DI di Sumatera Utara, Palembang, Lampung, Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur ditangkap. Mereka yang ditangkap di antaranya Haji Ismail Pranoto (Hispran), Gaos Taufik, Danu Muhammad Hassan, Muhammad Darda, Timsar Zubil dll. Mereka dituding terlibat gerakan Komando Jihad yang bercita-cita mendirikan NII.

Basis gerakan DI pindah ke Jawa Tengah terutama Solo dan Yogyakarta. Aparat keamanan belum mengendus keterlibatan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir dalam gerakan Darul Islam. Abdullah Sungkar masih aktif berceramah, sementara Abu Bakar Ba’asyir lebih aktif mengurus pesantren. Ceramah-ceramah Sungkar dikenal keras. Salah satu tema paling ia sukai soal aqidah. Konsep aqidah Abdullah Sungkar sangat dipengaruhi pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan Wahabi.

Kecenderungan Wahabiyah yang dikembangkan Sungkar ini memang agak lari dari asal-usul DI itu sendiri, yang justru sama sekali tidak mengarah pada semangat Wahabi.

Pertengahan dekade 1980-an, ketika Borobudur jadi sasaran bom, militer semakin represif, Abdullah Sungkar dan Baasyir pun lari ke Johor, untuk kemudian ke Selangor. Nah, setelah beberapa tahun berdakwah di Malaysia, duo kiyai pentolan dari Ngruki ini kemudian mendirikan Jemaah Islamiyah (JI).. Sebelumnya, beberapa kader DII atau NII telah lebih dulu bermukim di Malaysia. Salah satunya, Abdussalam Rasyidi, yang kini lebih dikenal sebagai Syaykh A.S. Panji Gumilang, pimpinan NII faksi Al-Zaytun–pengelola Universitas Al-Zaytun dan Ma’had Al-Zaytun di Indramayu. Konon, menurut desas-desus di kelompok DI Zaytun ini, Abdussalam punya andil dalam pelarian Sungkar dan Baasyir. Memang, Abdussalam kemudian lebih banyak bermukim di Sabah (Malaysia Timur), sedangkan duo Ngruki kemudian bermukim di Negeri Sembilan (Malaysia Barat).

Di Malaysia, dakwah Sungkar dan Baasyir berjalan mulus. Mereka mulai melakukan perekrutan anggota DI. Beberapa nama yang berhasil berbaiat di hadapan Sungkar dan Baasyir yakni: Hambali, Ali Ghufron, dan Imam Samudera. Di Malaysia, Sungkar bertemu dengan Syaykh Rasul Sayyaf, salah seorang pimpinan Mujahidin Afganistan. Dalam pertemuan itu tercapai kesepakatan kerjasama antara kelompok Syaikh Rasul Sayyaf dengan DI pimpinan Sungkar dalam bentuk pelatihan militer di Afganistan bagi para kader DI. Beberapa kader pun dikirim ke Afghan, termasuk Hambali, Ali Ghufron, dan Imam Samudera.

Sayang, hubungan Sungkar-Baasyir dan tokoh-tokoh DI di tanah air merenggang. Itu karena duet Sungkar-Baasyir dianggap lalai berkoordinasi dengan Amir NII di tanah air, termasuk dalam pengiriman para kader DI ke Afghan.

Singkat cerita, Sungkar-Baasyir mendirikan Jamaah Islamiyah (JI). Keputusan itu sungguh masuk akal karena nama JI jauh lebih universal ketimbang NII, yang sangat Indonesia sentris. Langkah semacam ini juga diikuti oleh NII faksi Al-Zaytun yang memodifikasi sebutan NII di Malaysia menjadi DIN (Daulah Islamiyah Nusantara).

Johor Baru adalah salah satu basis JI pimpinan duet Sungkar-Baasyir. almarhum Dr. Azhari dan Noordin M. Top adalah murid-murid Sungkar-Baasyir. Dari beberapa informasi kalangan dalam, keduanya sudah bergabung dan berbaiat sejak gerakan Sungkar-Baasyir masih bernama DI/TII atau NII.

Melompat jauh ke depan, pada 1998, Noordin menjadi Kepala Sekolah Madrasah Luqmanul Hakiem, salah satu madrasah di Johor Baru yang dibidani kelahirannya oleh Abu Bakar Baasyir, yang menjadi pimpinan tertinggi JI menggantikan Abdullah Sungkar yang sudah mangkat. Ketika, pemerintah Malaysia mulai mengendus aroma tak sedap kelompok pimpinan Baasyir itu, seluruh pesantren yang dicurigai memiliki hubungan dengan Baasyir pun ditutup. Ketika itu, mereka disebut sebagai KMM alias Kelompok Militan Malaysia. Baasyir cs, termasuk Noordin M. Top, pun pindah ke Indonesia–kembali ke asal pergerakan JI bermula ketika dahulu masih bernama DI/TII. Dalam pelariannya itu, Noordin memboyong istri dan ketiga anaknya ke kampung isterinya di Desa Pendekar Bahar, Bangko, Rokan Hilir, Riau. Letak Rokan Hilir memang berbatasan langsung dengan Malaysia.

Seperti sumbu ketemu tutup, di Indonesia para aktivis JI itu kembali bersinergi dengan para aktivis DI, yang sejatinya merupakan kakak tua secara ideologis. Menurut beberapa mantan aktivis JI di Jawa Tengah, pola tilawah (aktivitas perekrutan) JI 90% serupa dengan pola tilawah di DI. Di antara 10% yang berbeda adalah doktrin JI sudah diwarnai dengan semangat Wahabi. Berbeda dengan doktrin DI yang jelas-jelas tidak mengidentifikasi diri sebagai Wahabi. Hal ini menjadi penjelasan logis, mengapa para istri aktivis JI memakai cadar. Tak seperti aktivis DI yang tidak menganjurkan cadar bagi jamaah perempuan DI.

Sementara itu, ketika sang guru (Baasyir) mulai memerankan pola perlawanan politik yang lebih lunak–di antaranya dengan mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia, anak-anak JI lulusan Afghan mulai gerah. Bahkan, ketika perang saudara di Poso dan Ambon meletus, tersiar kabar bahwa anak-anak JI lulusan Afghan kemudian lebih memilih bergabung dengan para sejawat DI lulusan Afghan untuk bertempur di dua daerah konflik tersebut.

Ketika dua perang lokal itu berakhir, mereka seolah kehilangan medan jihad. Wajar jika mereka kemudian mencari medan jihad baru. Nah, ketika itulah, Hambali berhasil memfasilitasi kerinduan mereka untuk berjihad. Apalagi, ketika itu Hambali telah menjelma menjadi salah satu tokoh Al-Qaeda di Asia Tenggara. Sejak itu, berhembus kabar bahwa JI pecah. Satu kelompok tetap setia pada JI pimpinan Baasyir yang lebih moderat, sedangkan satu kelompok lagi JI yang didukung Hambali yang lebih memiliki karakter kelompok paramiliter. . Kelompok kedua inilah, yang kemudian berkembang menjadi kelompok yang kini dibesarkan oleh Noordin M. Top cs.

Dari latar belakang itu, ada beberapa simpul yang bisa menjelaskan mengapa Noordin tidak menebar teror di negerinya: Malaysia.

Pertama, basis ideologi JI adalah Indonesia karena JI lahir dari gerakan DI/TII atau NII.

Kedua, karena alasan pertama itu, Noordin lebih mudah mendapat dukungan ideologis dari para aktivis JI maupun DI di Indonesia. Memang, tidak semua aktivis DI sepakat dengan cara-cara Noordin. Bahkan, Baasyir yang merupakan guru sekaligus mentor, pun tak sepakat dengan teror ala Noordin. Apalagi di Malaysia, jamaah DI maupun JI sudah semakin terdesak, yang pada akhirnya membuat ke-DI-an dan ke-JI-an mereka semakin memudar.

Ketiga, jauh lebih mudah bagi Noordin untuk merekrut anggota baru di Indonesia ketimbang di Malaysia. Karakter orang Indonesia jauh lebih mudah dikader untuk menjadi militan ketimbang orang Malaysia.

Keempat, dalam doktrin DI–organisasi militan pertama yang dikenal Noordin–Indonesia diyakini sebagai pusat dakwah dan kebangkitan Islam dengan sebutan Madinah Indonesia. Karena itu, Indonesia memiliki kedudukan istimewa dalam hati Noordin. Bahkan, bisa jadi Noordin merasa lebih nyaman menjadi JI yang Indonesianis ketimbang sebagai JI yang Malaysianis.

Saya tak ingin menggunakan DI/NII ini sebagai stigmatisasi, ataupun menafikan banyaknya mantan tokoh dan keturunan organisasi ini yang tidak ada kaitannya lagi dengan aksi-aksi teror saat ini. Saya hanya ingin menekankan satu hal: generasi terorisme lokal sangat berpotensi menjelma terorisme global. Organisasi lokal adalah cikal-bakal dari organisasi global. Oleh karena itu, warisan ideologi dan dendam kesumat dari generasi itu harus dipotong secara tuntas, sembari melakukan antisipasi terhadap munculnya organisasi-organisa si teror lokal baru di Indonesia. Karena terbawa arus melawan terorisme global, sebagian masyarakat dan aparat pemerintah justru lengah terhadap kemunculan organisasi-organisa si teror lokal baru yang dengan leluasa melakukan kekerasan, pengrusakan, dan penyerangan terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat yang dianggap berbeda pandangan.

Agar cerita DI/NII dan segala turunannya itu tak terulang lagi, dan agar organisasi-organisa si lokal tidak bisa dimanfaatkan oleh jaringan global yang memungkinkan terjadinya aksi-aksi kekerasan seperti yang kita saksikan saat ini, maka diperlukan ketegasan aparat pemerintah untuk menindak kelompok-kelompok teror lokal baru diantaranya adalah Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah Sembilan ( NII KW9 ) yang berpusat di pesantren Al-Zaytun Indramayu Jawa Barat.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda